bgibola 1 live

beli chip 1 m - Deflasi 5 Bulan Beruntun: Ini Beda Situasi Krisis 1997/98 vs 2024

2024-10-07 23:54:43

beli chip 1 m,jepangqq dominoqq,beli chip 1 m

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia kembali mengalami deflasi selama lima bulan beruntun secara bulanan (month to month/mtm) pada Mei-September 2024. Kondisi ini mirip dengan situasi 1998/1999 di mana deflasi juga terjadi secara beruntun.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada Selasa (1/10/2024) mengumumkan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2024 turun atau mencatat deflasi sebesar 0,12% secara bulanan atau month to month (mtm).Angka deflasi itu makin dalam dibandingkan kondisi Agustus 2024 sebesar 0,03%.

Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, beruntunnya deflasi dalam satu tahun kalender ini bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia. Ia mengatakan, kondisi ini pernah terjadi saat Indonesia melalui krisis moneter (krismon) atau krisis finansial Asia pada 1998-1999.

Sebagai catatan, terakhir kali Indonesia mengalami deflasi (mtm) selama lima bulan adalah pada 1999. Pada tahun tersebut, Indonesia mencatat deflasi dalam delapan bulan beruntun yakni pada Maret (-0,18%), April (-0,68%), Mei (-0,28%), Juni (-0,34%), Juli (-1,05%), Agustus (-0,71%), September (-0,91%), dan Oktober (-0,09%).

Perlu dicatat jika kondisi ekonomi Indonesia pada saat itu sedang carut-marut karena krisis pada 1997/1998.

Harga pangan yang cenderung menurun memang menjadi pendorong terjadinya deflasi secara bulanan dan pelandaian angka inflasi secara tahunan. Namun ada potensi terjadinya pelemahan daya beli masyarakat yang juga dapat menjadi alasan terjadinya deflasi lima bulan beruntun.

Namun, tidak sedikit yang menilai deflasi lima bulan beruntun ini juga dipicu oleh melemahnya daya beli. Terlebih, secara historis, Indonesia lebih sering mencatat inflasi dibandingkan deflasi.
IHK indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor supply. IHK akan melonjak atau mencatat inflasi tinggi saat terjadinya gangguan pasokan bahan pangan seperti cabai hingga beras. Jika pasokan kembali mencukupi maka harga kembali normal dan inflasi terkendali.

Sebaliknya, inflasi yang didorong oleh kenaikan permintaan biasanya hanya terjadi pada momen-momen tertentu seperti Ramadhan dan menjelang Lebaran. Bulan setelah Lebaran biasanya terjadi deflasi karena permintaan menurun drastis. Namun, deflasi biasanya hanya terjadi 1-2 bulan karena permintaan kembali normal.

Baca:
RI Deflasi 5 Bulan Beruntun Mirip 1998: Ini Bukan Cuma Urusan Perut!

Kondisi ini berbeda dengan tahun ini di mana deflasi terus menerus terjadi di tengah laporan tercukupinya pasokan, mulai dari beras hingga telur. Sebagai buktinya, peternak telur sampai demo karena harga jatuh setelah permintaan terus turun.

Fakta tersebut kemudian memicu kekhawatiran jika ada persoalan pelemahan daya beli. Banyaknya pengangguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi salah satu faktor dari melemahnya daya beli yang berujung pada melandainya permintaan barang dan deflasi.

Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) terbaru, pada periode Agustus 2024 terjadi lonjakan pada angka tenaga kerja yang ter-PHK sebesar 23,72% menjadi 46.240, dibandingkan periode Agustus 2023 sebesar 37.375.

Pengangguran dan orang yang terkena PHK akan mengalami penurunan pendapatan. Jika tidak segera mendapat pekerjaan maka dengan mudah dia jatuh ke kelompok miskin. 

Semakin banyak jumlah pengangguran dan semakin banyak jumlah masyarakat yang masuk kategori miskin, maka daya beli masyarakat akan cenderung rendah.

Pada Februari 2024, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 4,82%, turun sebesar 0,63 poin persentase dibandingkan Februari 2023. Hal ini berarti dari 100 orang angkatan kerja, terdapat sekitar 5 orang penganggur.

Sebagai catatan jumlah pengangguran 7,20 juta orang ini merupakan tingkat yang terendah sejak era reformasi atau 1997, sebesar 4,69 juta.

Hal ini cenderung lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi 1998 yang justru memiliki TPT lebih tinggi dibandingkan 1997.

Namun, perlu dicatat jika Krisis 1997/1998 adalah salah satu periode terburuk di Indonesia. Krisis tidak hanya menghancurkan ekonomi tetapi juga merembet ke kehidupan sosial hingga politik. Krisis 1997/1998 adalah masa di mana Indonesia jatuh ke titik nadir dalam sejarah.

Krisis menjatuhkan nilai tukar rupiah dari Rp 2.500 menjadi Rp 16.900 per dolar AS. Krisis juga membuat inflasi Indonesia melonjak hingga 77% sementara ekonomi terkontraksi 13% lebih.

Laporan Bank Indonesia (BI) mencatat seiring dengan kontraksi perekonomian yang sangat dalam, jumlah pengangguran meningkat sebagai akibat terus berlangsungnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor. Tekanan yang berasal dari kenaikan biaya produksi di satu sisi, dan melemahnya daya serap pasar domestik di sisi lain, telah memaksa berbagai sektor mengurangi skala usaha.

Jumlah pengangguran penuh (open unemployment) yang pada 1997 tercatat sebesar 4,3 juta orang pada tahun 1998 meningkat menjadi 5,1 juta orang, atau 5,5% dari jumlah angkatan kerja.

Sementara dari sisi angka kemiskinan, BPS mencatat pada 1998, jumlah penduduk miskin sebanyak 49,5 juta orang (kota+desa) dengan persentase penduduk miskin 24,2%.

 
Kondisi 2024 tentu berbanding terbalik dengan tahun ini di mana ekonomi tumbuh 5% sementara nilai tukar rupiah juga menguat. Karena itulah, deflasi lima bulan beruntun pada 2024 kemudian mengundang banyak pertanyaan.

Jumlah penduduk miskin per Maret 2024 sebanyak 25,22 juta orang dengan persentase penduduk miskin 9,03%. Mereka yang miskin adalah yang hidup di bawah garis kemiskinan yakni Rp582.932,-/kapita/bulan.

Namun perlu diketahui bahwa Indonesia masih menggunakan standar lama internasional dalam menentukan kelompok yang masuk ke dalam bagian masyarakat miskin ekstrem.

Ukuran standar internasional itu mengacu ketentuan Bank Dunia atau World Bank yang menetapkan garis kemiskinan terbaru sebesar US$3,2 per kapita per hari dari sebelumnya hanya US$1,9.

Ukuran ini telah diadopsi sejak 2022 melalui angka Purchasing Power Parity (PPP) 2017 dari sebelumnya PPP 2011. Namun, Indonesia hingga kini masih menggunakan basis ukuran US$ 1,9.

Deflasi 5 Bulan di 2024 Pertanda Lemahnya Daya Beli?

Ekonom KB Valbury Sekuritas, Fikri Permana menyampaikan bahwa selain harga pangan yang menurun, penurunan daya beli masyarakat juga terjadi khususnya pembelian makin tertuju ke bahan kebutuhan pokok.

"Deflasi volatile foods, khususnya pakaian dan telekomunikasi, menunjukkan pembelian barang non-pokok (sekunder dan tersier) menurun yang juga terkonfirmasi dengan pembelian barang tahan lama (khususnya mobil) yang menurun dan dari sisi supply juga terkonfirmasi dari PMI Manufaktur yang masih berada di zona kontraksi," ujar Fikri kepadaCNBC Indonesia.

Data dari Mandiri Institute juga melaporkan bahwa per September 2024, proporsi nilai belanja untuk supermarkets terus mengalami kenaikan secara konsisten sejak Mei 2024 dan saat ini berada di angka 24,2%. Belanja untuk supermarket hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama pangan.

Sementara porsi belanja untuk restaurants, household (rumah tangga), dan fashion cenderung mengalami penurunan. Hal ini menegaskan bahwa masyarakat memang lebih mementingkan urusan perut dan mengurangi porsi belanja lainnya.

MSIFoto: Proporsi nilai belanja (%), diurut berdasarkan September 2024
Sumber: Mandiri Institute

Selain itu, angka PMI Manufaktur yang menunjukkan aktivitas manufaktur termasuk new orderatau pesanan baru juga tampak berada dalam teritori kontraksi.

S&P Global melaporkan per September 2024, PMI Manufaktur Indonesia berada di level 49,2 atau mengalami kontraksi selama tiga bulan beruntun.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistirajuga menyampaikan bahwa deflasi saat ini patut dipahami sebagai indikasi melemahnya sisi permintaan secara berturut turut.

"Ini bukan kesuksesan dalam mengendalikan inflasi melainkan tanda masyarakat sedang menahan belanja. Bahkan bukan lagi tahan belanja tetapi uang yang mau dibelanjakan sudah berkurang porsinya. Kelas menengah rentan sulit cari pekerjaan. Sementara kelas menengah atas tahan belanja khawatir situasi ekonomi memburuk," papar Bhima.

Jika deflasi berlanjut maka pelaku usaha khususnya industri makanan minuman, tekstil pakaian jadi, alas kaki hingga pelaku usaha properti akan revisi rencana bisnisnya.

"Sekarang saja PMI manufaktur tetap di bawah angka 50 atau sedang menurunkan pembelian bahan baku. Gejolak ini dapat berujung pada resesi ekonomi," tutup Bhima.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev) Saksikan video di bawah ini:

Prabowo: Hilirisasi Mutlak, Tidak Bisa Ditawar!

iframe]:absolute [&>iframe]:left-0 [&>iframe]:right-0 [&>iframe]:h-full">