bgibola 1 live

surat cinta untuk senior paskibra - Menyeimbangkan Risiko & Hasil Kebijakan Fiskal Ekspansif era Prabowo

2024-10-08 00:28:57

surat cinta untuk senior paskibra,bola siar indonesia,surat cinta untuk senior paskibra

Catatan:Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Saat Indonesia akan memulai era fiskal baru di bawah Presiden Prabowo Subianto, pemerintah sedang mempertimbangkan langkah-langkah kebijakan yang berani: meningkatkan rasio utang terhadap PDB dari 39% menjadi 50%, menaikkan defisit anggaran dari 2,35% menjadi 5%, dan meningkatkan rasio pajak terhadap PDB dari 10,6% menjadi 16%.

Langkah-langkah tersebut bertujuan untuk membiayai proyek infrastruktur, program sosial, dan memacu pertumbuhan ekonomi sebesar 8%, namun juga membawa risiko signifikan yang harus dikelola dengan hati-hati.

Baca:
Makan Siang Gratis Prabowo Bakal Dorong Ekonomi Tumbuh Segini

Utang dan Defisit Indonesia dalam Konteks Global
Meskipun peningkatan rasio utang terhadap PDB dan defisit anggaran dapat menimbulkan kekhawatiran, penting untuk dicatat bahwa banyak ekonomi maju, terutama di Eropa, berjalan dengan defisit yang jauh lebih tinggi.

Pada tahun 2023, rata-rata defisit anggaran di negara-negara Uni Eropa sekitar 3,6% dari PDB, dengan beberapa negara seperti Italia dan Prancis mengalami defisit 4,5-5%. Sebagai perbandingan, defisit Indonesia saat ini sekitar 2,3% dari PDB alias tergolong konservatif.

Kenaikan yang diusulkan menjadi 5% dari PDB masih akan menempatkan Indonesia dalam kisaran yang aman dibandingkan dengan banyak negara maju, terutama jika dikombinasikan dengan investasi infrastruktur dan pengeluaran sosial (Tabel 1).



Tabel Budget Deficit GDP dan Dept-to-GDP Ratio Comparison. (Dok. Istimewa)Foto: Tabel Budget Deficit GDP dan Dept-to-GDP Ratio Comparison. (Dokumentasi pribadi)



Lebih lanjut, rencana untuk meningkatkan rasio utang terhadap PDB Indonesia menjadi 50% masih jauh di bawah batas 60% yang ditetapkan dalam undang-undang fiskal di Indonesia. Ini memberikan ruang yang cukup untuk pinjaman yang bertanggung jawab, asalkan dana tersebut digunakan untuk proyek-proyek yang dapat meningkatkan pertumbuhan.

Banyak negara, termasuk yang ada di Uni Eropa, memiliki rasio utang terhadap PDB yang melebihi 90-100%, yang menunjukkan bahwa peningkatan yang direncanakan Indonesia tetap berkelanjutan jika disertai dengan pertumbuhan yang kuat dan manajemen fiskal yang bijaksana (Tabel 2)

Selain itu, rasio pajak terhadap PDB Indonesia yang sebesar 10,6% secara signifikan lebih rendah dibandingkan rata-rata ASEAN yang sekitar 15%. Negara-negara seperti Thailand dan Malaysia memiliki rasio pajak terhadap PDB sebesar 14-16%, sementara Vietnam sekitar 19% (Tabel 3). Meningkatkan rasio Indonesia menjadi 16% akan lebih selaras dengan rekan-rekan regionalnya dan membantu mendanai infrastruktur penting dan layanan sosial.

Tabel Tax-to-GDP. (Dok. Istimewa)Foto: Tabel Tax-to-GDP. (Dokumentasi pribadi)

Rencana ini dibangun di atas fondasi yang kokoh dari reformasi ekonomi sebelumnya, yang telah menjaga kondisi fiskal Indonesia tetap stabil. Namun, dengan mempertimbangkan tiga skenario potensial-peningkatan bertahap, peningkatan cepat, dan peningkatan drastis-menjadi jelas bahwa masing-masing skenario membawa risiko dan keuntungan yang berbeda bagi ekonomi Indonesia, inflasi, nilai mata uang, dan peringkat kredit.

Skenario 1: Pendekatan Bertahap
Dalam skenario ini, rasio utang terhadap PDB akan meningkat sebesar 2%-3% per tahun, mencapai 48%-49% dalam lima tahun, disertai dengan peningkatan bertahap dalam defisit anggaran dan rasio pajak terhadap PDB. Laju yang lambat ini memungkinkan pemerintah untuk menyebarkan pinjaman dari waktu ke waktu, mengurangi risiko lonjakan mendadak dalam biaya pembayaran utang.

Pertumbuhan PDB riil sebesar 3,5%-4% per tahun, dengan pertumbuhan PDB nominal 7%-9%, diperlukan untuk menjaga utang tetap terkendali. Investasi berkelanjutan dalam infrastruktur akan meningkatkan produktivitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Namun, risiko tetap ada. Kenaikan utang yang moderat kemungkinan akan mendorong imbal hasil obligasi sedikit lebih tinggi, mungkin mencapai 7%-8%, dan inflasi bisa meningkat menjadi 6%-7%. Rupiah, yang saat ini diperdagangkan pada Rp 15.300 per dolar AS, dapat terdepresiasi sebesar 3%-4%, mencapai Rp 15.750-Rp 16.000 per dolar AS. Ini akan menyebabkan sedikit peningkatan biaya impor tetapi menjaga stabilitas mata uang.

Penurunan peringkat kredit satu tingkat tetap menjadi kemungkinan jika pertumbuhan melambat atau kondisi global memburuk, tetapi prospek fiskal keseluruhan akan tetap stabil di bawah skenario ini.

Skenario 2: Peningkatan Cepat
Dalam skenario ini, rasio utang terhadap PDB Indonesia akan meningkat sebesar 3%-4% per tahun, mencapai 50% dalam 2-3 tahun. Defisit anggaran akan cepat naik menjadi 5%, sementara rasio pajak terhadap PDB akan meningkat dalam 4-5 tahun. Laju yang lebih cepat ini menawarkan sumber daya fiskal yang lebih cepat tetapi menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan utang.

Untuk menghindari penurunan peringkat kredit, Indonesia memerlukan pertumbuhan PDB nominal sebesar 9%-10%, dengan pertumbuhan PDB riil sebesar 4%-5%. Pertumbuhan di bawah itu dapat menyebabkan siklus berbahaya dari peningkatan utang dan biaya bunga. Inflasi bisa mencapai 7%-8%, mengikis daya beli konsumen, dan imbal hasil obligasi kemungkinan akan meningkat menjadi 7-8%, yang semakin membebani anggaran.

Rupiah akan menghadapi tekanan yang lebih besar, terdepresiasi sebesar 5%-7%, membawa nilai tukar menjadi Rp 16.000-Rp 16.400 per dolar AS Depresiasi 7% akan menambah Rp 1.070 per dolar AS, meningkatkan biaya impor dan risiko inflasi.

Risiko penurunan peringkat kredit satu tingkat tinggi jika pertumbuhan riil tidak melebihi 4%, yang akan membuat pinjaman lebih mahal dan menimbulkan keraguan tentang keberlanjutan fiskal jangka panjang.

Skenario 3: Peningkatan Drastis
Dalam skenario agresif ini, rasio utang terhadap PDB Indonesia akan melonjak sebesar 5% atau lebih per tahun, mencapai 50%-53% dalam 1-2 tahun saja. Defisit anggaran akan segera mencapai 5%, dan rasio pajak terhadap PDB perlu meningkat tajam dalam 3-4 tahun ke depan. Pendekatan ini akan memberikan sumber daya segera-sekitar 100 miliar dolar AS per tahun-tetapi dengan biaya yang signifikan.

Untuk menghindari penurunan peringkat kredit 1-2 tingkat, Indonesia memerlukan pertumbuhan PDB nominal sebesar 10%-12%, dengan pertumbuhan riil 6%-7%, target yang sulit dicapai mengingat kondisi global saat ini. Imbal hasil obligasi dapat melonjak menjadi 8%-9%, membuat pembayaran utang jauh lebih mahal dan mengurangi ruang untuk program sosial dan pengeluaran infrastruktur.

Inflasi bisa melonjak menjadi 8%-10%, dan rupiah akan berada di bawah tekanan berat, kemungkinan terdepresiasi sebesar 7%-10%, mendorong nilai tukar menjadi Rp 16.400-16.800 per dolar AS.

Depresiasi 10% akan menambah Rp 1.530 per dolar AS meningkatkan biaya impor dan memperburuk inflasi. Penurunan tajam nilai rupiah akan meningkatkan beban utang yang berdenominasi asing, membebani keuangan pemerintah, dan berpotensi memicu aliran modal keluar.

Menyeimbangkan Risiko dan Imbalan
Masing-masing skenario ini menghadirkan risiko dan imbalan yang berbeda. Pendekatan bertahap menawarkan stabilitas, meminimalkan risiko penurunan peringkat kredit, depresiasi mata uang, dan inflasi. Peningkatan cepat atau drastis dapat menghasilkan pertumbuhan jangka pendek yang lebih cepat, tetapi berisiko meningkatkan inflasi, depresiasi mata uang yang signifikan, dan penurunan peringkat kredit.

Pemerintahan Presiden Prabowo harus menyeimbangkan antara ekspansi fiskal yang agresif dan manajemen fiskal yang bijaksana. Tujuan ambisiusnya dapat dicapai tanpa mendestabilisasi perekonomian, tetapi pengelolaan utang, defisit, dan aliran pendapatan yang hati-hati sangat penting.

Pada akhirnya, kesuksesan masa depan Indonesia akan bergantung pada kemampuannya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, meningkatkan produktivitas, dan mengendalikan inflasi. Hanya dengan mencapai tujuan ini Prabowo dapat memastikan kebijakan ekspansifnya mengarah pada kemakmuran jangka panjang.


(miq/miq)