bgibola 1 live

no togel luwak - Seberapa Jauh Normalisasi Hubungan RI

2024-10-08 03:47:53

no togel luwak,login epictoto,no togel luwakJakarta, CNN Indonesia--

Gaduh penolakan timnas sepakbola Israel dalam Piala Dunia U-20 2023 di Indonesia kembali menyulut perdebatan publik soal prospek normalisasi hubungan Jakarta dan Tel Aviv.

Dalam beberapa tahun terakhir, Israel semakin jelas mengirim isyarat soal ketertarikan mereka membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia yang selama ini terjegal isu Palestina.

Lihat Juga :
Israel Buka Suara soal Timnas Ditolak RI Ikut Piala Dunia U-20 2023

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, sejumlah tokoh terutama mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) justru menilai Piala Dunia U-20 bisa jadi momentum bagi RI menunjukkan peran aktifnya memperjuangkan hak bangsa Palestina, yakni lewat dialog damai.

Menurut JK, melalui hubungan olahraga ini, Indonesia perlahan bisa menjajaki ke tahap hubungan lainnya, termasuk hubungan diplomatik dengan Israel, demi membantu Palestina "mencapai perdamaian".

[Gambas:Video CNN]

Apakah benar Indonesia membuka hubungan resmi dengan Israel justru bisa lebih banyak membantu memperjuangkan Palestina?

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia Sya'roni Rofii mengatakan pada dasarnya jika ingin mendamaikan dua negara yang berkonflik memang perlu mediator untuk menjembatani guna mencari solusi.

Sementara itu, salah satu kriteria penting menjadi mediator adalah memiliki hubungan baik dengan kedua belah pihak yang berkonflik, dalam hal ini Israel dan Palestina.

Lihat Juga :
KILAS INTERNASIONALIsrael Tanggapi Gaduh Timnas U-20 di RI hingga Korban Eksekusi Korut

Sama seperti JK, Sya'roni mendukung jika RI menormalisasi hubungan dengan Israel. Dengan syarat, Tel Aviv bersedia menjamin kemerdekaan Palestina dan menyetujui konseptwo state solution atau solusi dua negara yang selama ini menjadi resolusi konflik yang disepakati komunitas internasional.

"Jika Israel bersedia memberikan kemerdekaan kepada Palestina dan menyetujui konsep dua negara yang saling bertetangga Israel-Palestina. Jika tidak maka (Indonesia) hanya akan menguras energi dalam negeri (soal prospek normalisasi hubungan dengan Israel)," ucap Sya'roni kepadaCNNIndonesia.compada Senin (3/4).

Lihat Juga :
Israel soal Timnas U-20 Ditolak RI: Politik Tak Boleh Campuri Olahraga

Menurut Sya'roni, Indonesia hingga kini masih memilih berpegang pada prinsip dekolonisasi sehingga menghindari normalisasi hubungan dengan Israel sampai hak Palestina untuk merdeka terealisasi. Selain itu, ia juga mencatat soal implikasi politik domestik yang "sangat serius" jika Indonesia-Israel membuka hubungan diplomatik.

"Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah menjajaki kemungkinan (normalisasi) tersebut namun karena banyak penolakan publik maka kebijakannya tetap menolak hubungan diplomatik dengan Israel," kata Sya'roni.

Sya'roni menilai pemerintah sudah pasti memperhitungkan pengaruh domestik terkait prospek normalisasi hubungan dengan Israel yang merupakan isu sangat sensitif bagi warga Indonesia yang mayoritas mendukung Palestina. Suara publik, katanya, menjadi pertimbangan penting dalam kebijakan luar negeri Indonesia baik di masa lalu maupun kini.

"Pembukaan hubungan dengan Israel sangat bergantung pada seberapa besar dampak yang akan ditimbulkan bagi Indonesia dan kemerdekaan Palestina," ujarnya lagi.

Bisa jadi solusi bagi Palestina

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia Yon Machmudi juga mengatakan jalur diplomasi memang bisa menjadi solusi atas konflik Israel vs Palestina. Yon berujar Indonesia bisa saja menjalin diplomasi dengan Israel jika "memang menjadi prioritas utama kebijakan luar negeri" RI.

Lihat Juga :
Daftar Korban Kebrutalan Eksekusi Mati Korut: Remaja hingga Ibu Hamil

"Dan tentu harus dibuktikan dengan keseriusan, salah satunya bisa dilihat, apakah ada badan atau agen khusus yang dibentuk oleh pemerintah baik melalui Kementerian Luar Negeri atau di dalam pengawasan presiden yang memang ditugaskan untuk melakukan lobi-lobi berkaitan dengan penyelesaian konflik Israel-Palestina," kata Yon kepada CNNIndonesia.com.

Kendati demikian, menurut Yon, hingga kini Indonesia belum menjadikan isu Palestina sebagai prioritas utama. Sebab, masalah tersebut hanya naik ke permukaan kala diterpa "masalah".

Pilihan Redaksi
  • Pelapor PBB Soroti Sidang Haris Azhar-Fatiah yang Dituduh Hina Luhut
  • Ukraina soal Rusia Klaim Bakhmut: Mereka Kibarkan Bendera di Toilet
  • Finlandia Resmi Jadi Anggota NATO ke-31 Besok, Apa Reaksi Rusia?

"Isu-isu Palestina itu kan bersifat reaktif, jadi kalau ada masalah baru ada statement. Ketika ada delegasi Israel baru kemudian muncul statementdan polemik. Belum jadi suatu kebijakan yang terukur dan terstruktur di dalam hal penyelesaian," lanjut Yon.

Yon juga mengatakan untuk menjalin normalisasi harus ada kepentingan yang bisa dibawa guna memperkuat diplomasi. Dia mencontohkan, Uni Emirat Arab, yang baru-baru ini normalisasi dengan Israel, membuka hubungan diplomatik demi kepentingan ekonomi dan geopolitiknya.

"Tetapi Indonesia, apakah ada kemungkinan kepentingan ekonomi jangka panjang yang besar? Yang memiliki benefit bagi Indonesia. Atau itu hanya menguntungkan pihak Israel? Maka itu juga harus ditimbang," ucapnya.

"Karena biar bagaimanapun pengakuan Indonesia terhadap Israel baik lewat diplomasi atau normalisasi itu memang sangat diinginkan oleh pihak Israel. Karena Indonesia kan sebagai [salah satu] negara Muslim terbesar."

Senada dengan Sya'roni, Yon juga menilai sah-sah saja jika RI menjalin normalisasi dengan Israel. Namun dengan syarat, Israel memberikan jaminan yakni mengakui kemerdekaan Palestina yang berdaulat sebagaimana konstitusi di Indonesia.

"Selama itu belum ada tentu tidak ada sesuatu yang bisa menjadi jaminan. Indonesia jangan sampai kemudian masuk ke dalam sebuah perangkap yang membuat Indonesia sudah terlanjur melakukan pengakuan tapi setelah itu tidak ada daya tekan, kan itu tidak efektif," ujar Yon.

Eks wakil menlu RI buka suara soal prospek normalisasi Israel-RI, baca di halaman selanjutnya >>>

Rugi besar

Tak hanya akademisi, eks Wakil Menteri Luar Negeri RI, Dino Patti Djalal, juga mendukung pernyataan JK. Ia berpandangan bahwa menjalin hubungan dengan Israel bisa lebih "nyata" membatu penyelesaian konflik Israel-Palestina yang sudah berlangsung lebih dari setengah abad lamanya.

"Saya kira itu adalah poin yang valid. Dan memang kita perlu pertanyakan apakah kita ada ambisi itu (membantu menyelesaikan konflik Palestina-Israel)? Kalau ada ambisi itu ya berarti tentu ada konsekuensinya (menjalin hubungan resmi dengan Israel)," kata Dino kepada CNNIndonesia.com.

Menurut Dino, hal percuma bagi RI jika hanya koar-koar mendukung Palestina tanpa menjalin dialog dengan Israel dan mendambakan perdamaian kedua negara karena tak akan didengar oleh Tel Aviv.

Lihat Juga :
WAWANCARA EKSKLUSIFDubes Israel: RI Bisa Jalin Relasi dan Tetap Dukung Palestina

"Harus ada keputusan politik. Apakah kita mau main di lini itu? Tapi kalau mau ya tentu ada konsekuensinya yaitu kita harus menjalin kontak dengan Israel. Kalau enggak, siapa yang harus menghubungi mereka?" ucap Dino.

Dino juga turut menyayangkan kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023. Menurut Dino, Indonesia rugi besar karena hal tersebut.

Dari segi olahraga, peluang timnas Indonesia berlaga pertama kalinya di ajang bergengsi kini pupus. Dari segi ekonomi, triliunan rupiah yang mestinya bisa diraup RI menguap begitu saja.

Kemudian dari segi citra, nama baik Indonesia kini tercoreng dan dipandang sebelah mata oleh dunia internasional karena dianggap tak komitmen.

"Ini kan suatu peristiwa serius dalam dunia olahraga kita dan juga bagi citra internasional," ujar dia.

Resolusi 181

Solusi dua negara atau two state solutionsebenarnya sudah tertuang dalam Resolusi 181 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Resolusi yang disepakati pada 29 November 1947 itu berisi soal pembagian wilayah negara Palestina dan Israel.

Resolusi itu menegaskan Palestina dan Israel masing-masing berdiri sebagai negara merdeka dan berdaulat yang hidup secara berdampingan. Dalam resolusi itu, wilayah yang diperuntukkan bagi bangsa Yahudi sekitar 55 persen, sedangkan sisanya untuk bangsa Arab Palestina.

Namun, sebelum resolusi berlaku, pada 14 Mei 1948, Israel memproklamirkan kemerdekaan sebagai Negara Israel hingga memicu perang negara Arab vs Israel. Israel memenangkan pertempuran dan mencaplok lebih banyak wilayah Palestina.