bgibola 1 live

jingga slot - RI Deflasi 5 Bulan Beruntun Mirip 1998: Ini Bukan Cuma Urusan Perut!

2024-10-08 06:15:42

jingga slot,susunan pemain liverpool vs real madrid,jingga slot

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Konsumen (IHK) kembali turun atau mengalami deflasi pada September 2024. Deflasi tersebut menandai catatan terburuk sejak 1999 atau 24 tahun terakhir.

Deflasi lima bulan beruntun justru terjadi jelang purna tugasnya masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Badan Pusat Statistik (BPS) pada Selasa (1/10/2024)Pada September 2024, deflasi sebesar 0,12% secara bulanan atau month to month(mtm). Angka deflasi itu makin dalam dibandingkan kondisi Agustus 2024 sebesar 0,03%.

Kondisi deflasi itu telah terjadi sejak Mei 2024 yang sebesar 0,03%, lalu berlanjut pada Juni 2024 sebesar 0,08%, dan Juli 2024 sebesar 0,18%. Dengan begitu, deflasi telah terjadi selama lima bulan beruntun menjelang akhir masa pemerintahan Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2024 mendatang.

Sementara secara tahunan (year on year/yoy) IHK naik atau terjadi inflasi sebesar 1,84% atau lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yang tercatat sebesar 2,12% yoy.

Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, beruntunnya deflasi dalam satu tahun kalender ini bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia. Ia mengatakan, kondisi ini pernah terjadi saat Indonesia melalui krisis moneter (krismon) atau krisis finansial Asia pada 1998-1999.

Sebagai catatan, terakhir kali Indonesia mengalami deflasi (mtm) selama lima bulan adalah pada 1999. Pada tahun tersebut, Indonesia mencatat deflasi dalam delapan bulan beruntun yakni pada Maret (-0,18%), April (-0,68%), Mei (-0,28%), Juni (-0,34%), Juli (-1,05%), Agustus (-0,71%), September (-0,91%), dan Oktober (-0,09%).

Perlu dicatat jika kondisi ekonomi Indonesia pada saat itu sedang carut-marut karena krisis pada 1997/1998.

Amalia juga menyampaikan bahwa kelompok pengeluaran penyumbang deflasi terbesar adalah makanan, minuman dan tembakau dengan deflasi 0,59% dan beri andil deflasi 0,17%.

Deflasi pada kelompok ini, kata Amalia merupakan yang terdalam sejak 2020. Beberapa komoditas dengan andil besar adalah cabai merah, cabai rawit, telur ayam ras, daging dan tomat.

BPSFoto: Tingkat Inflasi Barang Bergejolak (% mom)
Sumber: BPS

Deflasi terus terjadi pada kelompokvolatile foodyang terus mengalami penurunan bahkan sejak April 2024 atau waktu dimulainya deflasi secara bulanan.

Sejak April hingga September 2024, deflasi volatile foodtampak terus terjadi bahkan posisi deflasi per September ini sebesar 1,34% dengan andil deflasi sebesar 0,21%.

Komoditas yang dominan memberikan andil deflasi komponen bergejolak adalah cabai merah, cabai rawit, telur ayam ras, daging ayam ras, tomat, daun bawang, kentang, dan wortel.

Jika dilihat lebih rinci, berdasarkan data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN), sepanjang September 2024, harga cabai merah sejak awal hingga akhir September 2024 terpantau turun sekitar 19,3% sedangkan harga cabai rawit turun 7,65% dalam periode yang sama.

Ke depan, Kementerian Pertanian memprediksi harga dan stok cabai sampai dengan akhir 2024 cukup. Namun, efek kemarau memang ada sedikit gangguan pada produksi.

Hal ini sebagaimana disampaikan Plt. Dirjen Hortikultura Kementan Muhammad Taufiq Ratule dalam acara Forum Cabai Nasional di Jakarta, Selasa (3/9/2024).

Berdasarkan prediksinya, sampai dengan Desember 2024 ketersediaan cabai secara nasional aman, atau mencukupi kebutuhan masyarakat. Menurut Taufiq, yang menjadi masalah adalah ketersediaan cabai yang mencukupi itu tidak rata di semua wilayah Indonesia.

Adapun total produksi cabai yang dimaksudnya aman tersebut berkisar di 3 juta ton per tahun, sementara konsumsi cabai per tahunnya sekitar 1,17 juta ton. Artinya, terjadi surplus dalam produksi cabai dalam negeri. Hal ini yang membuat harga cabai dapat lebih stabil lagi ke depannya.

Lebih lanjut, makanan, minuman, dan tembakau pun tampak mulai mengalami deflasi sejak April hingga September 2024 (enam bulan terakhir).

Deflasi kelompok ini pun secara historis terjadi di setiap bulan September (2020-2024) kecuali September 2023.

BPSFoto: Tingkat Inflasi Kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau (% mom)
Sumber: BPS

Deflasi Gegara Harga Pangan Saja?

Harga pangan yang cenderung menurun memang menjadi pendorong terjadinya deflasi secara bulanan dan pelandaian angka inflasi secara tahunan. Namun ada potensi terjadinya pelemahan daya beli masyarakat yang juga dapat menjadi alasan terjadinya deflasi lima bulan beruntun.

Secara historis, IHK indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor supply. IHK akan melonjak atau mencatat inflasi tinggi saat terjadinya gangguan pasokan bahan pangan seperti cabai hingga beras. Jika pasokan kembali mencukupi maka harga kembali normal dan inflasi terkendali.

Sebaliknya, inflasi yang didorong oleh kenaikan permintaan biasanya hanya terjadi pada momen-momen tertentu seperti Ramadhan dan menjelang Lebaran. Bulan setelah Lebaran biasanya terjadi deflasi karena permintaan menurun drastis. Namun, deflasi biasanya hanya terjadi 1-2 bulan karena permintaan kembali normal.

Kondisi ini berbeda dengan tahun ini di mana deflasi terus menerus terjadi di tengah laporan tercukupinya pasokan, mulai dari beras hingga telur. Sebagai buktinya, peternak telur sampai demo karena harga jatuh  setelah permintaan terus turun.

Baca:
Tak Peduli RI Dilanda Deflasi, IHSG Ditutup Terbang 1,5%

Guru Besar Universitas Indonesia, Telisa Falianty mengatakan tekanan dalam struktur ekonomi Indonesia terjadi seiring dengan turunnya jumlah kelas menengah maupun anjloknya daya beli.

Tekanan sisi demandyang tercermin dari data deflasi dan tekanan sektor supplyyang terlihat dari kontraksi PMI Manufaktur disebut Telisa akan berdampak pada ekonomi RI yang akan semakin sulit tumbuh di atas 5%.

Ekonom KB Valbury Sekuritas, Fikri Permana menyampaikan bahwa selain harga pangan yang menurun, penurunan daya beli masyarakat juga terjadi khususnya pembelian makin tertuju ke bahan kebutuhan pokok.

Baca:
Investor Kudu Waspada! Pasar Rawan Ambruk Usai Iran Serang Israel

"Deflasi volatile foods, khususnya pakaian dan telekomunikasi, menunjukkan pembelian barang non-pokok (sekunder dan tersier) menurun yang juga terkonfirmasi dengan pembelian barang tahan lama (khususnya mobil) yang menurun dan dari sisi supply juga terkonfirmasi dari PMI Manufaktur yang masih berada di zona kontraksi," ujar Fikri kepada CNBC Indonesia.

Data dari Mandiri Institute juga melaporkan bahwa per September 2024, proporsi nilai belanja untuk supermarkets terus mengalami kenaikan secara konsisten sejak Mei 2024 dan saat ini berada di angka 24,2%.  Belanja untuk supermarket hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama pangan.

Sementara porsi belanja untuk restaurants, household (rumah tangga), dan fashion cenderung mengalami penurunan. Hal ini menegaskan bahwa masyarakat memang lebih mementingkan urusan perut dan mengurangi porsi belanja lainnya.

MSIFoto: Proporsi nilai belanja (%), diurut berdasarkan September 2024
Sumber: Mandiri Institute

Di lain sisi, kemarin (1/10/2024) S&P Global merilis data PMI Manufaktur yang terpantau kembali terkontraksi di level 49,2 atau tiga bulan beruntun.

PMI yang tercatat 49,2 pada September 2024 memang tidak serendah pada Agustus 2024. Namun, kondisi tersebut tidak melepaskan fakta jika kondisi manufaktur RI kini sangat buruk.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira juga menyampaikan bahwa deflasi saat ini patut dipahami sebagai indikasi melemahnya sisi permintaan secara berturut turut.

"Ini bukan kesuksesan dalam mengendalikan inflasi melainkan tanda masyarakat sedang menahan belanja. Bahkan bukan lagi tahan belanja tetapi uang yang mau dibelanjakan sudah berkurang porsinya. Kelas menengah rentan sulit cari pekerjaan. Sementara kelas menengah atas tahan belanja khawatir situasi ekonomi memburuk," papar Bhima.

Jika deflasi berlanjut maka pelaku usaha khususnya industri makanan minuman, tekstil pakaian jadi, alas kaki hingga pelaku usaha properti akan revisi rencana bisnisnya.

"Sekarang saja PMI manufaktur tetap di bawah angka 50 atau sedang menurunkan pembelian bahan baku. Gejolak ini dapat berujung pada resesi ekonomi," tutup Bhima.

Senada dengan Bhima, Ekonom Ciptadana Sekuritas Asia, Renno Prawira menyampaikan bahwa penurunan harga BBM non-subsidi yang dilakukan oleh Pertamina menjadi penyebab deflasi. Di sisi lain, daya beli konsumen pada bulan September masih terlihat lemah.

"Indeks Manufaktur PMI yang berada di zona kontraksi dengan nilai 49,2 (di bawah ambang batas 50). Meskipun demikian, angka ini menunjukkan perbaikan dibandingkan bulan Agustus yang tercatat di angka 48,9," pungkas Renno.

"Salah satu komponen dari PMI Manufaktur dan punya bobot yang paling tinggi itu adalah pesanan baru (New Order). Jadi kalo PMI Manufaktur turun bisa mengindikasikan daya beli juga turun," tutup Renno.

Baca:
RI Deflasi Beruntun 5 Bulan, Mirip Situasi Mengerikan 1998

Ekonom Senior Samuel Sekuritas Indonesia, Fithra Faisal juga menyampaikan hal serupa. PMI Manufaktur yang masih terkontraksi menunjukkan baik output maupun pesanan baru terus mengalami penurunan.

Kondisi ini menandakan tantangan yang berkelanjutan dalam permintaan lokal. Para produsen merespons dengan hati-hati dengan mengurangi aktivitas pembelian dan menarik kembali persediaan yang ada, mencerminkan langkah strategis untuk mengelola biaya di tengah kondisi pasar yang tidak pasti.

"Kami mengamati bahwa pelunakan inflasi ini terjadi terutama akibat efek penurunan konsumsi. Hal ini ditambah dengan PMI yang berada di bawah 50, menjadi potensi hambatan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi pemerintah di atas 5% dalam FY2024," ungkap Fithra.

Ekonom Senior Bank Central Asia (BCA), Barra Kukuh Mamia mengatakan dalam laporannya yang berjudul BI and Fed policy: Two-nil for the market bahwa  jarak besar antara kapasitas produksi China (yang dominan di hampir semua sektor) dan permintaan yang melemah (setelah pemulihan yang baik tahun lalu) berujung pada penurunan margin keuntungan manufaktur dan tekanan deflasi di seluruh dunia.

Baca:
Cari Kerja Sulit, Warga RI Ramai Kabur ke Luar Negeri Demi Sesuap Nasi

"Ketidakseimbangan China juga berdampak negatif pada Indonesia, melalui ekspor komoditas yang lebih lemah dan kehilangan pekerjaan di sektor manufaktur yang padat karya. Mengingat bahwa pekerjaan di pabrik mungkin merupakan pekerjaan formal yang paling banyak dan bergaji baik bagi tentara pekerja Indonesia yang kurang terdidik (bukan lulusan perguruan tinggi), kehilangan pekerjaan ini memiliki dampak yang menghancurkan pada daya beli," dikutip dari laporan BCA.

Data historis dari Bank Indonesia yakni Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) sejak 2019 pun menunjukkan bulan September cenderung selalu lebih rendah dibandingkan bulan Agustus, kecuali pada 2021.

Sebagai informasi,IKK Indonesia per Agustus 2024 berada di level yang cukup tinggi yakni 124,4 atau lebih tinggi dibandingkan 123,4 pada bulan sebelumnya atau tertinggi sejak Mei 2024. Namun hal ini tidak menjadi penentu bahwa IKK pada September nanti akan kembali bergerak lebih tinggi dibandingkan Agustus 2024.

Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Erwin Haryono, menuturkan meningkatnya keyakinan konsumen pada Agustus 2024 didukung oleh Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) yang tetap optimis dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang menguat.

Lebih lanjut, Indeks Penjualan Riil (IPR) yang dirilis oleh BI di saat Indonesia mengalami deflasi sejak Mei 2024 tercatat mengalami pelemahan.

Angka IPR yang lebih rendah dibandingkan April 2024 untuk mayoritas kelompok (Makanan, Minuman & Tembakau, Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Peralatan Informasi dan Komunikasi, Perlengkapan Rumah Tangga Lainnya, Barang Lainnya, dan o/w Sandang) menjadi indikasi bahwa penjualan cenderung kurang baik.

Sebagai informasi, IPR ini merupakan hasil survei untuk mengukur pertumbuhan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia. Jika kita mengasumsikan bahwa komponen lainnya tetap, maka peningkatan tingkat konsumsi masyarakat akan diikuti oleh peningkatan PDB (Produk Domestik Bruto). Ini juga menunjukkan bahwa ekonomi negara tersebut sedang mengalami pertumbuhan.

Ketika IPR mengalami kenaikan, maka hal ini menunjukkan bahwa tingkat konsumsi masyarakat juga meningkat, dan begitu pula sebaliknya.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev) Saksikan video di bawah ini:

Prabowo: Hilirisasi Mutlak, Tidak Bisa Ditawar!

iframe]:absolute [&>iframe]:left-0 [&>iframe]:right-0 [&>iframe]:h-full">