bgibola 1 live

di stefano - Kelas Menengah RI Sehat

2024-10-07 22:16:30

di stefano,sdy data,di stefano

Jakarta, CNBC Indonesia -Beban kelas menengah Indonesia pada tahun depan bakal semakin berat. Pasalnya, penerimaan kelas menengah diperkirakan akan semakin tergerus dengan adanya kenaikan berbagai harga barang dan jasa, yang sebagian besar dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah.

Tidak tanggung-tanggung, beban kelas menengah ini akan menyentuh berbagai kebutuhan dasar a.l. pangan, transportasi, kesehatan hingga energi. Untuk mengetahui beban apa saja yang akan membebani kelas menengah tahun depan. Berikut ini rinciannya:

1. PPN Naik menjadi 12%

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada pertengahan Agustus lalu mengatakan bahwa kenaikan tarif itu telah jelas menjadi amanat Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).

"Kan undang undangnya sudah jelas ya. Kecuali ada hal yang terkait dengan Undang-undang, kan tidak ada," kata Airlangga di kantornya, Jakarta, dikutip Senin (7/10/2024).

Pemerintah pun telah melakukan simulasi penerapan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada awal 2025. Namun, untuk penerapannya masih tergantung keputusan pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto.

Baca:
Muncul Tanda-Tanda Ekonomi RI Terancam Gawat, Ini 5 Buktinya

Sesuai ketentuan UU HPP pengenaan tarif PPN 12% itu diamanatkan berlaku mulai 1 Januari 2025. Namun, karena ada permintaan dari sektor usaha, khususnya pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia supaya ditunda, simulasi itu dilakukan untuk melihat dampaknya.

"Kalau dampak potensinya kan gampang hitungnya, naik dari 11% ke 12% itu kan berarti naik 1%, 1 per 11 itu kan katakan 10% total PPN kita realisasi setahun Rp 730-an triliun, berarti kan tambahnya sekitar Rp 70-an triliun," tegas Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono, beberapa waktu lalu.

"Hitung dengan dampak ekonominya kira-kira kalau dengan itu bagaimana, nanti kemampuan bisnis serta sektor industri kita dan sebagainya, tinggal disandingkan," ungkapnya.

Meski begitu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa pemberlakuan pajak PPN 12% pada 2025 masih menunggu keputusan presiden terpilih, Prabowo Subianto. Sri Mulyani berharap kenaikan ini tidak terjadi karena akan berdampak kepada kenaikan harga lagi dan membuat daya beli masyarakat makin terpuruk

"Kami terus berkomunikasi dan berkonsultasi dengan presiden terpilih," kata Sri Mulyani, Selasa (27/8/2024).

Menurutnya, ada beberapa hal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang masih harus dikoordinasikan dengan tim presiden terpilih. Baik dari sisi penerimaan, maupun belanja negara.

Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah menegaskan PPN 12% tak dimasukan ke dalam perhitungan APBN 2025 karena DPR menolaknya. Adapun dalam RUU APBN 2025 yang akan dibawa ke rapat paripurna, pemerintah dan DPR menyepakati target penerimaan sebesar Rp 2.490,91 triliun dari sektor perpajakan. Dari jumlah itu, setoran PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) sebesar Rp 945,12 triliun.

Said mengatakan target penerimaan itu masih menggunakan hitung-hitungan PPN sebesar 11%.

"Rp 2.490 triliun penerimaan itu tidak termasuk PPN 12%, kami tidak menghendaki itu naik," kata dia saat ditemui selepas rapat kerja Banggar DPR, Agustus lalu.

Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono menegaskan Prabowo akan mengambil keputusan ketika sudah benar-benar dilantik menjadi Presiden.

"Sekali lagi, izinkan Pak Prabowo menjadi Presiden dahulu," kata Thomas dalam diskusi dengan media di Anyer, Serang, Banten, Rabu, (25/9/2024).

Baca:
Waspada! Ini 3 Tanda Ekonomi RI Mulai 'Sakit-Sakitan'

2. Tarif KRL Berbasis NIK

Polemik di 2025 kembali muncul pada awal September lalu, di mana pemerintah berencana mengubah skemasubsidi Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek dengan berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) mulai 2025.

Kebijakan ini akan berdampak pada jutaan warga Indonesia yang mengandalkan KRLsebagai modatransportasi utama.

Pemerintah menjelaskan skema baru tersebut diharapkan bisa membuat subsidi PSOtepat sasaran. Anggaran belanja Subsidi PSOpada 2025 dialokasikan kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebesar Rp 4,79 triliun.

Anggaran sebesar itu digunakan untuk mendukung perbaikan kualitas dan inovasi pelayanan kelas ekonomi bagi angkutan kereta api antara lain KA ekonomi jarak jauh, KA ekonomi jarak sedang, KA ekonomi jarak dekat, KA ekonomi Lebaran, KRD ekonomi, KRL Jabodetabek, KRL Yogyakarta, dan Light Rail Transit (LRT) Jabodebek.

"Guna memastikan agar skema tarif ini betul-betul tepat sasaran, saat ini kami masih terus melakukan pembahasan dengan pihak-pihak terkait. Nantinya skema ini akan diberlakukan secara bertahap, dan akan dilakukan sosialisasi kepada masyarakat sebelum ditetapkan," ungkap Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub Risal Wasal saat dikonfirmasi CNBCIndonesia, Kamis (29/8/2024).

Baca:
Pria Ini Jalankan Proyek Unggulan Jokowi, Bikin Produk Pertama di RI

Namun, Kementerian Perhubungan memberikan informasi terbaru soal penerapan subsidi KRL Jabodetabek, menjadi berbasis NIK mulai tahun 2025.

Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati mengungkapkan pemerintah masih menggodok kebijakan tersebut.

"Masih dalam pembahasan lintas sektoral," ungkap Adita kepada CNBC Indonesia, Jumat (4/10/2024).

Soal batal atau tidak, Adita hanya menegaskan bahwa kebijakan tersebut tidak akan dilakukan dalam waktu dekat. "Yang jelas tidak akan diimplementasikan dalam waktu dekat," tegasnya.

Baca:
Siap-Siap! Gaji Pekerja di Atas UMR Wajib Dipotong 3% untuk Tapera

3. Iuran Tapera Berdasarkan UMR

Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) Heru Pudyo Nugroho menyatakan bahwa pekerja dengan gaji di atas Upah Minimum Regional (UMR) wajib mengikuti program Tapera.

Katanya, iuran sebesar 3% dari gaji setiap bulannya wajib dibayarkan peserta Tapera, dalam hal ini masyarakat berpenghasilan di atas UMR.

"Terkait iuran 3% itu, ini undang-undanganya menyatakan wajib bagi masyarakat berpenghasilan di atas upah minimum," kata Heru saat ditemui usai Forum Tematik Bakohumas BP Tapera di Jakarta, Kamis (3/10/2024).

Meski begitu, Heru menilai BP Tapera tetap perlu berhati-hati dalam melihat kesiapan segmen masing-masing peserta untuk bisa memulai menabung. Karenanya, dalam waktu dekat ini BP Tapera masih akan berfokus dulu untuk bisa diikuti para Aparatur Sipil Negara (ASN), yang dinilainya lebih siap dibandingkan pegawai swasta.

Baca:
Tapera Pernah Bikin Heboh dan Mengguncang RI, Pejabatnya Buka Suara

Adapun untuk masyarakat yang berpenghasilan di bawah UMR, Heru menyebut kepesertaan Tapera untuk golongan tersebut sampai dengan saat ini masih bersifat lunak.

"Dulunya juga punya experience (pengalaman) jadi peserta Bapertarum, namun diberhentikan dan Bapertarum dilikuidasi 2019. Sudah lima tahun belum nabung, nah kita akan mulai dari ASN dengan kesiapan masing-masing segmen," ujarnya.

Akan tetapi, Heru menekankan, BP Tapera nantinya juga akan mempersiapkan kesiapan dari segmen-segmen pekerja lainnya. Sebab, regulasi iuran sebesar 3% tersebut harus diatur kementerian teknis terkait.

"Dan dalam proses itu, pasti dengan swasta akan mengundang APINDO, mengundang serikat pekerja, dan sebagainya untuk mendiskusikan ini. Tapi, saat ini kita fokus dulu ASN, mungkin nanti perluasan pegawai BUMN-BUMD," pungkasnya.

Baca:
Semua SPBU di RI Resmi Turunkan Harga BBM, Berlaku 7 Oktober 2024

4. Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Iuran BPJS Kesehatan dikabarkan akan naik pada 2025. Sebagaimana dikatakan Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti.

Meski begitu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah belum membahas besaran tarif iuran yang akan naik itu.

"Belum kita bahas antar kementerian terkait," kata Airlangga di kantornya, Jakarta, Jumat (9/8/2024).

Sebagaimana diketahui, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti memberikan sinyal kenaikan besaran iuran itu hanya untuk kelas I dan II.

Kenaikan tarif iuran itu akan diterapkan menjelang pemberlakuan kelas rawat inap standar (KRIS) mulai 30 Juni 2025, yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024.

Baca:
Kelas 1-3 Dihapus, Cek Iuran BPJS Terbaru Berlaku 6 Oktober 2024

"Bisa, (iuran) bisa naik. Dan saat ini sudah waktunya juga naik," katanya di Krakatau Grand Ballroom TMII, Jakarta Timur, dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (8/8/2024).

Sementara itu, dia memastikan iuran peserta kelas III tidak akan berubah karena peserta tersebut umumnya merupakan Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI).

"Kalau kelas III gak akan naik. Kelas III itu kan, mohon maaf, umumnya PBI kan kelas 3," tegasnya.

Sayangnya, Ghufron belum mengungkapkan kapan tepatnya besaran iuran BPJS Kesehatan akan naik. Namun, dia memastikan kebijakan ini bakal diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres).

Dalam kesempatan ini, Ghufron juga menegaskan tarif iuran BPJS Kesehatan tidak akan dibuat single tarif. Artinya, setiap kelas peserta bakal tetap membayar sesuai dengan porsinya.

Baca:
Ide Avanza-Pajero Cs Dilarang Pakai BBM Subsidi, Kemenperin Bilang Ini

5. Pembatasan BBM Subsidi

Pemerintah berencana memangkas subsidi BBM pada tahun 2025 mendatang. Jika benar demikian, maka masyarakat harus bersiap untuk kenaikan tarif BBM di tahun depan.

Rencana kebijakan ini terungkap dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2025. Dalam dokumen tersebut, pemerintah mendorong dilakukannya pengendalian kategori konsumen untuk BBM jenis Pertalite dan Solar.

"Keseluruhan simulasi reformasi subsidi dan kompensasi energi ini diproyeksikan akan menghasilkan efisiensi anggaran sebesar Rp 67,1 triliun per tahun," demikian dikutip dari Dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2025, Senin (7/10/2024).

Baca:
Jokowi, Sri Mulyani & Airlangga Soroti Badai PHK di Indonesia

Berdasarkan informasi yang diterima CNBC Indonesia, kriteria pengguna BBM subsidi akan ditentukan berdasarkan kapasitas mesin mobil atau Cubicle Centimeter (CC). Adapun untuk yang masih berhak mengisi BBM Solar subsidi maksimal mobil dengan kapasitas mesin 2.000 CC, sementara BBM Pertalite maksimal 1.400 CC.

Artinya, mobil di atas 2.000 CC tidak akan berhak mengisi BBM Solar subsidi dan mobil di atas 1.400 CC tidak akan diizinkan mengisi BBM Pertalite.

Peningkatan konsumsi BBM ditambah harga jual yang berada di bawah harga keekonomian mengerek beban subsidi dan kompensasi. Selain itu, penyaluran BBM Subsidi saat ini dinilai kurang tepat pasalnya lebih banyak dinikmati mayoritas rumah tangga kaya.

Dengan pengendalian konsumen yang berkeadilan, diperkirakan dapat mengurangi volume konsumsi Solar dan Pertalite sebesar 17,8 juta KL per tahun.

6. Cukai, Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK)

Tahun depan, pemerintah akan mengenakan cukai baru, yakni cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Dalam Buku Nota II Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, rencananya objek MBDK akan dikenakan cukai pada 2025. Kebijakan ekstensifikasi cukai secara terbatas pada (MBDK) dikenakan untuk menjaga kesehatan masyarakat.

Pemerintah mengusulkan target penerimaan cukai sebesar tahun depan sebesar Rp 244,2 triliun atau tumbuh 5,9%. Pemerintah juga menargetkan barang kena cukai baru yakni minuman berpemanis dalam kemasan.

Baca:
5 Tanda Ekonomi RI Lagi Gawat, Bikin Ngeri

Usulan tersebut tertuang dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 serta dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN 2025.

Dalam RUU pasal 4 ayat 6 disebutkan "Pendapatan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dikenakan atas barang kena cukai meliputi:

a. hasil tembakau;

b. minuman yang mengandung etil alkohol;

c. etil alkohol atau etanol;

d. minuman berpemanis dalam kemasan

Munculnya barang kena cukai baru yakni minuman berpemanis dalam kemasan ini di luar dugaan mengingat pemerintah sebelumnya lebih gencar mewacanakan akan mengenakan cukai pada plastik. Ketentuan cukai plastik bahkan sudah dimuat dalam APBN 2024.

"Pemerintah juga berencana untuk mengenakan barang kena cukai baru berupa Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) di tahun 2025. Pengenaan cukai terhadap MBDK tersebut dimaksudkan untuk mengendalikan konsumsi gula dan/ atau pemanis yang berlebihan, serta untuk mendorong industri untuk mereformulasi produk MBDK yang rendah gula," tulis RAPBN 2025.

Baca:
Rupiah Terus-terusan Anjlok, Kas Negara Aman?

Cukai sebagai instrumen fiskal memiliki fungsi strategis, baik sebagai penghimpun penerimaan negara (revenue collector) maupun sebagai pengendali eksternalitas negatif.

Oleh karena itu, dalam setiap perumusan kebijakan tarif cukai, pemerintah perlu memperhatikan aspek-aspek yang dikenal 4 Pilar Kebijakan yaitu pengendalian konsumsi (aspek kesehatan), optimalisasi penerimaan negara, keberlangsungan industri, dan peredaran rokok ilegal.

Saat ini, pengenaan cukai baru atas terdiri tiga objek pengenaan yakni cukai hasil tembakau (rokok), etil alkohol (etanol), dan minuman yang mengandung etil alkohol.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Febrio Nathan Kacaribu mengungkapkan rencana pengenaan cukai tersebut masih harus dibahas pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Iya memang itu (cukai minuman berpemanis) yang akan kita coba bahas nanti dengan DPR, yang lain memang enggak," ujar Febrio di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu, Jumat (16/8/2024).

7. IPL Apartemen Akan Dikenakan PPN

Potensi beban kelas menengah lainnya pada tahun adalah kabar Iuran Pemeliharaan Lingkungan (IPL) pada rumah susun dan apartemen akan dikenakan PPN. Hal ini bermula dari surat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan wilayah Jakarta Barat mengenai sosialisasi pengelola apartemen.

Dari surat yang diterima CNBC Indonesia, terpantau ada 19 apartemen yang masuk ke dalam daftar undangan, mulai dari PSSRS Komersial Campuran Seasons City Jakarta, Apartemen Grand Tropic, Apartemen Menara Latumeten hingga Apartemen Maqna Residence.

Baca:
Deflasi 5 Bulan Beruntun Bikin Was-was, Pemerintah Bisa Apa?

Dalam surat tersebut, akan dilakukan kegiatan sosialisasi PPN atas Jasa Pengelolaan/Service Charge kepada para pengelola apartemen oleh Kanwil DJP Jakarta Barat.

"Sehubungan dengan adanya kegiatan sosialisasi PPN atas Jasa Pengelolaan/Service Charge kepada para pengelola apartemen oleh Kanwil DJP Jakarta Barat, dengan ini kami mengundang Saudara untuk menghadiri kegiatan tersebut yang akan dilaksanakan pada hari, tanggal Kamis, 26 September 2024 waktu 09.00 s.d. selesai," tulis undangan yang ditandatangani secara elektronik oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Barat Farid Bachtiar dikutip Rabu (25/9/2024).

Mengenai surat tersebut, Kalangan penghuni rumah susun dan apartemen keberatan. Ketua Umum Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI) Adjit Lauhatta menilai kebijakan itu tidak tepat karena banyak penghuninya merupakan kalangan menengah yang saat ini daya belinya tengah terganggu.

Polemik pengenaan PPN untuk IPL menemui titik terang setelah Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI) bertemu dengan pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yakni Muh. Tunjung Nugroho, Kepala Subdirektorat Peraturan Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya di Kantor Ditjen Pajak, Jl. Gatot Subroto, Jakarta.

Kedua pihak membahas status dan aliran dana IPL warga rumah susun/apartemen sampai akhirnya dibelanjakan.

Baca:
Hijrah Massal ke Rokok Murah Jadi Momok Cukai 2025

Ketua P3RSI Adjit Lauhatta menyampaikan besaran IPL (per meter per segi) ditentukan dalam Rapat Umum Anggota (RUA) PPPSRS. Berapa dana urunan (IPL) itu disesuaikan dengan rencana anggaran program kerja tahunan. Setelah itu baru berapa besaran IPL itu diputuskan. Jadi, sejak awal PPPSRS memang tidak cari untung dari IPL.

Dana IPL itu lalu ditampung dalam rekening Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS), yang selanjutnya akan dipergunakan untuk pembiayaan pengelolaan dan perawatan gedung.

Dengan demikian, dalam kegiatan penampungan dana IPL dari warga ke PPPSRS itu tidak ada pelayanan jasa di situ. Karena itu, IPL tidak tidak memenuhi unsur pertambahan nilai.

Pembentukan PPPSRS merupakan amanah UU No 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun untuk mengurusi pengelolaan Benda Bersama, Tanah Bersama, dan bagian bersama. Dan untuk mengelolanya, PPPSRS dapat membentuk atau menunjuk Badan Pengelola profesional.

"Untuk mengelola dan merawat gedung serta berbagai fasilitasnya, tentunya dibutuhkan biaya besar. Sesuai amanat undang-undang biaya pengelolaan tersebut akan ditanggung renteng oleh pemilik dan penghuni rumah susun secara proporsional, dalam bentuk IPL yang merupakan dana urunan warga dan ditampung di rekening PPPSRS, seperti layaknya RT/RW," kata Adjit.

Kepala Subdirektorat Pengelolaan Penerimaan Pajak Muchamad Arifin mengatakan aturan mengenai PPN untuk jasa pengelolaan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022. Dalam aturan tersebut dijelaskan mengenai barang dan jasa yang tak terkena PPN. Iuran pengelolaan apartemen, kata dia, tidak masuk dalam daftar yang dikecualikan tersebut.

Arifin menjelaskan biaya jasa yang dipungut oleh pengelola apartemen di antaranya untuk listrik dan air. Menurut dia, penyediaan jasa untuk kedua komoditas tersebut bukanlah jasa yang dikecualikan dari pungutan.

"Bukan biaya listriknya yang terutang PPN, tetapi jasa pengelolaannya," ujar dia.

Dia mencontohkan seorang penyewa atau pemilik apartemen yang memiliki tagihan listrik seharga Rp 70. Kepada pihak pengelola apartemen, si penyewa akan membayar Rp 80 karena sudah dihitung dengan biaya pengelolaan. Selisih Rp 10 dalam pembayaran itulah yang dikenai PPN 11%.

"Ketika pengelolanya menerbitkan faktur, dia harus memenuhi PPN, kalau misalnya invoice dipisah, maka yang terutang hanya jasanya saja," tutur dia.

Dalam transaksi itu, dia mengatakan memang si pemilik atau penyewa apartemen yang harus membayar PPN tersebut. Hal serupa juga diterapkan dalam pembelian barang lain seperti baju atau makanan.

Arifin mengatakan peraturan terkait pengenaan PPN terhadap jasa pengelolaan apartemen ini sudah lama berlaku. Dia menduga publik kaget karena baru tahu.


(haa/haa) Saksikan video di bawah ini:

Video: IPL Rusun-Apartemen Bakal Kena PPN 11%, Ini Buktinya!

iframe]:absolute [&>iframe]:left-0 [&>iframe]:right-0 [&>iframe]:h-full">Next Article PPP Minta PPN 12% Ditunda, Ungkap Dampak Ngerinya!