bgibola 1 live

2d 27 - Meraba Nyali Jokowi Batasi BBM Subsidi per 1 September 2024

2024-10-08 02:21:14

2d 27,bospaito taiwan,2d 27Jakarta, CNN Indonesia--

Ada akrobat jelang akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni pembatasan BBM bersubsidi.

BBM subsidi, seperti pertalite hingga biosolar, disebut-sebut bakal dibatasi mulai 1 September 2024. Pertanyaannya, apakah Jokowi punya nyali?

Arifin Tasrif pernah membocorkan rencana ini ketika masih menjabat menteri ESDM. Ia menyebut 1 September 2024 menjadi waktu dimulainya kebijakan berani Jokowi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Belum dieksekusi, Arifin sudah didepak duluan dari jabatannya. Jokowi mengganti sang ahli kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan Bahlil Lahadalia.

Bahlil belum memastikan kelanjutan wacana pembatasan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga irit bicara, tak memberi kejelasan.

"Sekarang kita lihat Kementerian ESDM perlu menyiapkan untuk itu (aturan BBM)," ucap Airlangga usai The 2nd Asia Zero Emission Community Ministerial Meeting di Jakarta Selatan, Rabu (21/8).

"Ini kan kita lihat baru ada transisi menteri ESDM (dari Arifin Tasrif ke Bahlil Lahadalia). Kita tunggu saja," tambahnya.

Pengamat Energi Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti mencoba meraba nyali Jokowi. Jokowi dinilai tak punya rasa takut di akhir masa jabatannya, termasuk untuk mengeksekusi pembatasan BBM bersubsidi.

Lihat Juga :
Daftar 10 Instansi CPNS 2024 dengan Gaji Tertinggi

"Seharusnya (Jokowi) nothing to lose. Andaikan kebijakan ini bersifat politik, pasti subsidi lanjut, Pak Jokowi tidak akan menghapus subsidi," ucap Yayan kepada CNNIndonesia.com, Senin (26/8).

Yayan melihat kondisi ekonomi sekarang ini sebenarnya mengkhawatirkan. Ini tergambar pada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stagnan, lalu diperparah penurunan daya beli masyarakat.

Andai pembatasan dilakukan, Jokowi diramal akan mencari siasat lain untuk menenangkan hati rakyat. Salah satu kemungkinan yang ditempuh adalah pemberian bantuan langsung tunai (BLT).

"Mungkin isu subsidi harus ditahan sampai kondisi ekonomi kembali stabil, dengan pertumbuhan stabil dan kondisi politik memudar," sarannya kepada pemerintah.

Lihat Juga :
Daftar 7 Barang Impor Banjiri RI yang Bakal Dipindah Pintu Masuknya

Menurutnya, pembatasan BBM subsidi masih memungkinkan, tapi beda cerita dengan penghapusan total. Yayan memperingatkan pemerintah untuk betul-betul memperhatikan daya beli masyarakat.

Ia mengatakan kenaikan harga BBM, bahkan penghapusan subsidi secara total, bisa berdampak serius, termasuk pada inflasi. Efek rambatannya bakal terasa hingga empat bulan lamanya.

"Saat ini saya kira kurang tepat (mengutak-atik subsidi BBM). Menghapus subsidi, andaikan ingin naik (harganya), sepertinya tidak cukup bijak walaupun kita lihat keuangan negara sudah begitu berat," tegas Yayan.

Lanjut ke halaman berikutnya...

Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna menekankan pembatasan BBM tergantung dengan keseriusan pemerintah, entah itu melalui aplikasi MyPertamina, skema kartu, hingga pembatasan jenis kendaraan.

Akan tetapi, Putra menegaskan rencana ini bukan saatnya dieksekusi Jokowi. Ia menyebut lebih baik itu diputuskan oleh Presiden Terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto.

"Karena pembatasan dalam bulan-bulan terakhir pemerintahan akan berakibat kegaduhan dalam masa peralihan," prediksi Putra.

Putra menilai pembatasan lebih tepat dilakukan di tahun pertama Prabowo. Sebelum pembatasan BBM diputuskan, rakyat juga dipastikan menuntut keadilan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta pengetatan proyek-proyek non-prioritas, seperti IKN Nusantara.

Walau, ia menegaskan sang presiden terpilih pasti butuh waktu untuk merasionalisasi anggaran sebelum mengambil keputusan berani terkait kebijakan subsidi BBM.

"Pemerintah sudah waktunya melakukan penyesuaian harga BBM secara berkala agar imbasnya tidak mengagetkan rakyat," saran Putra.

Lihat Juga :
Bahlil Prediksi Target Lifting Minyak 600 Ribu Barel Meleset Tahun Ini

"(Untuk sekarang) pembatasan saja dulu dan lakukan dengan konsisten sembari menaikkan secara bertahap. Peralihan kendaraan BBM ke listrik juga bisa membantu menahan pertumbuhan permintaan BBM," imbuhnya.

Ia menegaskan kenaikan harga BBM sudah tak terhindarkan. Terlebih, lifting minyak terus turun dan kondisi nilai tukar rupiah tak stabil.

Di lain sisi, Putra punya pesan khusus untuk PT Pertamina (Persero).

"BUMN, seperti Pertamina, tidak perlu terlalu menggembar-gemborkan untung puluhan triliun setiap tahunnya kalau itu sebenarnya dari hasil menjual BBM ke rakyat. Sementara, produksi (minyak) tak kunjung naik," kritik Putra.

Budaya menaikkan harga BBM di awal rezim baru

Direktur Next Policy Yusuf Wibisono mengkritik sikap pemerintah selama ini yang tak berupaya mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi. Padahal, kenaikan harga minyak dunia yang diiringi pertumbuhan konsumsi pertalite sudah diperkirakan sejak lama.

Kenaikan harga pertamax juga memunculkan migrasi sebagian pengguna. Namun, pemerintah dinilainya tak melakukan strategi apapun untuk membatasi konsumsi pertalite.

"Peluang kebijakan membatasi pertalite hanya untuk kelompok miskin sebenarnya terbuka, pilihannya banyak. Namun, pilihan yang sering mengemuka justru pembatasan pertalite dengan cara yang menyulitkan kelompok miskin, seperti pembelian BBM bersubsidi melalui aplikasi MyPertamina sehingga banyak ditentang publik," kritik Yusuf.

"Alternatif cara pembatasan pertalite yang pro-kelompok miskin tersedia, namun tak pernah dilakukan serius. Misal, pembatasan yang paling mudah adalah dengan menetapkan pertalite hanya untuk sepeda motor dan angkutan umum," sarannya.

[Gambas:Photo CNN]

Akibatnya, konsumsi pertalite tidak terkendali. Pemerintah pun berdalih bahwa tak ada pilihan lain selain menaikkan harga BBM.

Yusuf mengatakan kebijakan mengerek harga BBM di awal pemerintahan baru acapkali dilakukan. Sebut saja ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukannya di 2005 dan Presiden Jokowi pada 2015.

Namun, kedua peristiwa tersebut terjadi saat kondisi perekonomian relatif sedang baik. Sedangkan saat ini yang terjadi adalah sebaliknya.

"Kondisi saat ini relatif berbeda, di mana masyarakat kelas bawah dan menengah sedang banyak mengalami tekanan ekonomi. Mulai dari kenaikan harga pangan, banyaknya pajak dan pungutan wajib, hingga maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK)," tuturnya.

"Jadi, menurut saya menaikkan harga BBM adalah pilihan kebijakan berisiko tinggi saat ini. Meski inflasi terjaga, namun kenaikan harga pangan cukup signifikan. Meski atas nama subsidi yang membengkak, kenaikan harga BBM dipastikan akan menambah tekanan ke harga kebutuhan pokok, terutama pangan," wanti-wanti Yusuf.

[Gambas:Video CNN]